Suicide Squad (2016) — Review


Di saat Man of Steel dan Batman v. Superman mendapat kritikan pedas karena gagal memuaskan animo penonton, Suicide Squad garapan David Ayer-lah yang menjadi tumpuan harapan bahwa DC Universe bisa bangkit dari keterpurukan setelah kesuksesan Dark Knight Trilogy-nya Nolan. Dengan trailer yang dihadirkan pada San Diego Comic-Con 2015 yang lalu, penggemar hingga kritik menaruh harapan besar bahwa film ini akan fun, menarik dan menghadirkan sesuatu yang berbeda. Namun trailer hanyalah trailer untuk film yang satu ini. Apa yang sebenarnya melenceng sehingga membuat Suicide Squad hanyalah sebatas film hero lewat semata?

Sebenarnya Suicide Squad cukup tampil bagus di awal 40 menit yang dibuka dengan Amanda Waller yang berencana membentuk Satuan Tugas X yang berisi para kriminal yang berhasil mereka tangkap yang kemudian dilanjutkan dengan pengenalan karakternya satu per satu. Yap, agak mengherankan bukan, Empat puluh menit hanya untuk pengenalan karakter yang memang cukup banyak, dan itupun hanya beberapa yang mendapat showchase yang lebih yakni: Deadshot serta Harley Quinn. Deadshot yang merupakan pembunuh bayaran yang piawai menggunakan senjata, sementara Harley Quinn yang merupakan mantan dokter yang menjadi gila setelah jatuh cinta dengan pasiennya, Joker. Sementara yang lainnya hanya diperkenalkan sekilas saja, mulai dari Diablo, Killer Croc hingga Dr. June yang dirasuki oleh sosok jahat bernama Enchantress. 

Setelah pengenalan karakter, Suicide Squad harus jungkir balik membangun momentum dengan jalan ceritanya yang tidak jelas sebab-akibatnya mulai dari penjelasan yang ala kadarnya tentang villain-nya (sebenarnya Joker sebagai villain lebih bagus ketimbang ini), kemudian pengembangan karakternya yang malah berakhir gagal dan agak terasa seperti mereka tidak benar-benar Worst Heroes Ever, more like orang baik yang melakukan beberapa hal jahat kecil. Mungkin salah satu yang cukup menarik perhatian ialah Harley Quinn yang memang cukup tampil gemilang (diperankan oleh Margot Robbie). Sementara Jared Leto tampil lumayan walau masih jauh jika dibandingkan dengan pendahulunya. Sayangnya juga, beberapa scene Joker dipotong (menurut pengakuan Leto) sehingga kalian hanya akan melihat Joker sekitar 9-11 menit di film ini. Sama seperti dia hanya jadi pemain tambahan saja. Puncak klimaks-nya juga mengecewakan. Sayang memang, satu lagi cerita yang begitu luar biasa di versi komik tapi tidak memenuhi ekspektasi dalam adaptasi film.  

Nilai plus film ini? Lebih baik "sedikit" (and more fun) dari Batman v. Superman terlepas dari lebih tertata baiknya jalan cerita BvS (terutama untuk versi Extended-nya) yang harus dihancurkan lebih dalam oleh kisah konyol "Martha" di penghujung. Untuk action sequence juga lumayan, walau beberapa scene terlihat CGI-nya kurang rapi sehingga terlihat agak amatiran. Namun tidak ada yang bisa menyangkal dengan soundtracknya yang keren-keren abis baik Original Soundtracknya maupun lagu-lagu yang difeature di dalam film ini mulai dari Twenty-one pilots, Rolling Stones, Etta James, sampai Bohemian Rhapsody-nya Queen yang diremake oleh Panic at the Disco!

 
(MEDIOCRE)
Share on Google Plus

About er1ck9

Penulis Amatiran yang Mencoba Berbagi Kisahnya

0 komentar :

Posting Komentar